Sunday, February 24, 2013

LDR

Sebelum nya sudah pernahkah saya menuliskan tentang Long Distance Realtionship ini? Karena sepertinya saya selalu bermasalah dengan ini. Derita tidak bisa menemukan hi quality jomblo di kota tempat tinggal. Hehe...

Yang utama harus dimiliki dalam LDR itu adalah kesabaran, yang kedua sabar, dan yang ketiga sabar. Komunikasi bukan masalah besar di jaman teknologi sekarang ini. Mulai dari whatsapp sampai skype. Yang punya BB pasti dengan BBM nya dunk.. Tapi saya dan dia bukan pengguna BB, dan dia tidak mau menggunakan whatsapp for personal reasons. Jadi pilihan yang tertinggal adalah sms dan skype. Bisa juga dengan program mobile messengers lainnya, tapi so far itu hanya membuahkan frustasi di pihak saya karna programnya menyedot batre dan dalam beberapa jam HP saya koit. Sms..? Itu juga menyebalkan karna menyedot pulsa.. hehe.. Skype so far merupakan pilihan yang sangat membantu. Masalahnya adalah perbedaan waktu setengah hari iniiiih... Jadi waktu yang memungkinkan untuk bisa ber-skype ria adalah tengah malam saya dan pagi dia atau sebalik nya. Jadwal diluar itu akan membuat salah seorang bete. Karna yang lain pasti sedang sibuk melakukan aktifitas nya.

Masalah lainnya adalah tendensi saya untuk gampang menyerah. Saya tak kuat sakit, langsung menyerah pada analgesic untuk mematikan rasa sakit. And sometimes missing him hurts me more than having my period pain in the worst day. The different is this time analgesic won't help at all. Jadi nyaaah seperti biasa yang bisa saya lakukan adalah menulis disini. Terapi biar tak gila dan melakukan hal yang akan saya sesali di kemudian hari.

Sunday, February 17, 2013

Derita Bersepeda di Belanda

Judul yang dramatis berima seperti biasa yang saya suka... Jadi bisa dibilang seminggu ini saya sudah bersepeda di negri belanda ini. Menempuh jarak kurang lebih 9km antara Ede (tempat tinggal saya) dan Wageningen (kampus saya). Hari pertama bersepeda, saya langsung kehabisan nafas dan pusing sesampai di universitas. Jangan tanya kenapa. Hari kedua sedikit lebih baik, hari ketiga diakhiri dengan meninggalkan sepeda di kampus dan pulang dengan bus karena salju turun dan saya tak membawa perlengkapan anti salju. Hempasan salju kemuka itu sangat menyakitkan.

Tadi pertama kalinya saya menempuh Ede-Wageningen seorang diri. Sebelum-sebelumnya selalu dengan teman dari dorm yang memiliki jadwal kuliah yang sama dengan saya. Tadi karena libur dan saya ada urusan pribadi, jadi lah dengan sesuka hati saya mengayuh sepeda. Tapi sesuka hati pun ternyata bukan sepeda santai yang tidak melelahkan, karna saya pun ternyata bosan tak juga sampai ditujuan dan jadilah mengayuh dengan sekuat kemampuan paha menahan pegal.

Berangkat ke wageningen tidak seberapa. Deritanya baru dimulai ketika balik ke Ede. Karna kelamaan rumpi di Wageningen, saya balik ketika hari mulai gelap. Seorang diri. Ditengah jalan gerimis pun mulai turun. Saya tak ambil pusing karna hanya gerimis kecil hingga di suatu daerah bernama Benekom saya lihat beberapa orang pesepeda lainnya sedang berteduh. Saya pun langsung melihat ke jaket saya. Ternyata sebagian besar bagian depannya telah basah kuyup. Tapi saya sudah kepalang basah, jadi sapun melanjutkan kayuhan se-sisa tenaga. Memasuki daerah Ede, saya mulai melihat keanehan di track sepedanya, seperti lumpur yang menutupi, beberapa saat kemudian ditempat yang lebih terang saya baru menyadari bahwa itu ternyata salju. Sepertinya di Ede sempat turun salju yang cukup membeli lapisan penutup putih yang memberatkan kayuhan di track sepeda.

Berjuangan saya diakhiri selalu dengan tanjakan kecil ke dorm. Tanjakannya tak seberapa, tetapi setelah mengayuh selama nyaris 30 menit, tanjakan itu selalu terasa seperti tantangan terbesar sebelum mencapai kenyamanan dorm. Saya sampai di kehangatan dorm dengan paha pegal, nafas tersenggal dan bsah kuyup. Sekurangnya saya sampai dengan selamat.

track sepeda yang tertutup salju

Monday, February 11, 2013

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : EDE, GELDERLAND, THE NETHERLANDS


#52-24, 10 Feb 2013 24.04 CET


Well.. wel.. siapa yang sangka... siapa yang duga... Vie yang tiga tahun lalu merana karena harus kuliah lagi sekarang kembali terdampar untuk melakukan hal yang sama. Dia masokis. Semua tahu itu. Saat hubungan dengan dia yang namanya tak mau dia sebut telah bisa diakhiri tanpa derita lagi, Vie membutuhkan hal baru untuk menyiksa diri. Sekolah lagi mungkin? Toh dia masih bodoh dan membutuhkan lebih pendidikan.

Besok akan menjadi hari pertama kuliah Vie disini. Dia tak bisa menahan diri untuk tak tertawa. Tapi dia masih bertahan untuk tidak tertawa histeris, tak mau teman-teman se'koridor' nya ketakutan mendengarnya. Temperatur satu derajat dibawah nol, tapi kamarnya tak sedingin sewaku di Melbourne. Disini dia tak perlu berpikir pusing untuk menghemat biaya penghangat ruangan. Tapi bukan itu yang membuat nya ingin tertawa histeris. Dia teringat Enade, manusia yang meracuni nya untuk menulis disini.

Dulu manusia hamster itu menggambarkan Netherlands bagai kulkas, terang dan dingin, dia juga mengatakan bahwa negri ini selalu tertutup kabut yang membuat nya depresi. Belum lagi salju yang menutup semua warna dunia dan menjadikannya hanya putih. Well yeah.. mungkin itu keadaannya di Amsterdam dan Den Haag, kota tempat dia berseliweran di negara ini. Tapi sekurangnya di kampung Ede tempat Vie terdampar kali ini tak sedingin atau seputih itu, sekurangnya view dari kamar Vie cukup berwarna.

the view

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Tak Terhapus


#52-23, 27 August 2011 13.54 AEST


Seperti biasa tiba-tiba aku sedih, dan merindukan mu setengah mati. Dan aku hanya bisa memutar ulang memory tentang mu. Semua yang positif, sebelum aku menyadari banyak yang negatif menyelip dan tak mau ku ingat. Dan semua mengingatkan tentang pilihan dalam hidup. Kita bisa memilih hal-hal dan pikiran yang ingin selalu di ingat atau di lupakan. Dan tentang mu hal ini sangat membingungkan. Melupakan mu sepertinya adalah satu-satu nya pilihan rasional yang sayang nya sangat susah aku lakukan. Sementara mengingat mu hanya akan selalu menambah kesedihan dan kesepian dalam hidup ini.

Dan disini lah aku. Sendiri di sepinya hari mengingat mu. Membuka layar YM dan melihat namamu disana. Selalu disana dan tak pernah ada sapa jika bukan dariku. Dan seperti biasa jari ku mengetuk dua kali di nama mu untuk memunculkan satu layar kecil dengan foto kecil di samping nya. Tentu saja bukan foto mu yang kau pajang. Dan jemari ku menari manulis kan racauan hati dalam satu helaan nafas tanpa ada niat memencet [enter] untuk mengirimkannya padamu. Belum selesai kicauan hati itu tertumpah, satu bunyi familiar menggema di ruangan. Satu kalimat tertera di layar kecil itu. Dari mu. Ya, darimu di tepi dunia sana. Dan aku pun tersenyum, semua rasa hilang kecuali kau menyadari di tepi sana. Atau hanya pengaturan waktu sang kuasa saja yang sangat tepat. Dan beberapa kalimat dariku langsung meluncur menyambut satu sapa itu. Dan keheningan kembali datang. Semua hanya dibalas oleh sepi.

Aku ingin menyingkirkan mu dari kepala, tapi semua hal sederhana yang terjadi setiap hari mengingatkan ku akan dirimu. Aku dulu dengan gampang nya bisa menyimpan satu pikiran negatif tentang orang lain yang bisa untuk selamanya membuat dia masuk dalam kategori orang yang tak penting dalam hidup ku. Sementara banyak hal negatif tentang mu hanya membuatku mempertanyakan tindakan ku sebelum nya. Hingga saat ini pun aku masih tidak bisa memasukkan mu dalam kategori manusia tidak penting dalam hidup ini. Aku malah mempelajari bahwa tidak segampang itu seharusnya aku mengkategorikan manusia lain hanya berdasarkan satu tindakan yang aku tidak suka.

Setelah sekian lama, ternyata aku masih juga berkutat tentang mu. Aku pikir, sedih tak akan lagi menghampiri kala mengingat mu, sepi tak akan lagi menjadi penghantar bayang dirimu dalam hari ku. Tapi ternyata waktu tak juga menghapusmu.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Puasa


#52-22, 9 August 2011 20.24 AEST


Tak terasa tinggal enam bulan lagi masanya di negri empat musim ini. Sekarang musin dingin nya yang kedua. Dan Ramadhan kedua di negri orang. Vie merindukan suasana kampung halaman. Disela himbauan untuk memperkecil volume adzan di mesjid-mesjid Indonesia, Vie merindukan kebisingan itu.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : The Game...

#52-21, 9 October 2010 00.24 ADST

"Salam dari pak ustad..."

"oh noooo....!!!"

"koq..? bukannya senang...?"

"no..no..no...hiks... apa yang lu bilang sama diaa...??? my gosh...!"

"koq malah nuduh gw...?"

"huaaaaaaa... hadoooh... pasti mempermalukan gw..."

baiklah...baiklah... aku jelaskan... Yang menyapa barusan via facebook's chat-room adalah Ardi, manusia supel yang rame dan hobi sekali menggoda orang lain. Berbincang dengannya membuat kita (aku tepatnya) merasa telah menjadi sahabatnya dari dahulu kala, walaupun baru mengenalnya dalam beberapa jam percakapan. Kami datang ke kota ini dalam satu rombongan pemberangkatan, yang langsung membuat satu persamaan nasib untuk mengawali sebuah persahabatan. 

Percapakan diatas merupakan lanjutan dari percapakan-percakapan sebelumnya, yang... seperti bisa diduga bahasannya adalah tentang cowok aka pacar yang berarti sekali lagi membahas tentang kemungkinan untuk merubah status "single" nya Vie. 

Hey..hey.. ya...! Masih ingat kah tentang seseorang yang namanya tak mau di sebut Vie selama ini..? Sampai sekarang pun Vie masih tak ingin menyebutnya karena alasan yang berbeda. Jika dulu menyebut nama itu menjadikannya tak berdaya, sekarang mengingat nama itu membuatnya jijik. Ya, jijik..! Hanya karena sebuah fakta sederhana yang baru diketahuinya belakangan bahwa dia yang namanya tak mau Vie sebut, ternyata seorang munafik yang kata-kata nya tak bisa dipercaya. Sebenarnya itu bukan fakta baru, harusnya Vie telah menyadari selama ini. Memangnya apa yang dia-yang-namanya-tak-mau-disebut itu ucapkan ke-kekasih sewindu nya bisa dipercaya? Hanya bodohnya selama ini Vie menyangka semua ucapan ke dirinya adalah jujur. Sekurangnya Vie berpikir dia-yang-namanya-tak-mau-disebut itu jujur tentang kondisi dirinya kepada Vie. Tapi yah... itulah naive nya Vie. Dan sudahilah berbicara tentang masa lalu.

Mari kembali ke saat ini. Saat Vie menjadi malu sampai ke ubun-ubun karena mendapat salam dari Pak ustad..? Sebenarnya bukan karena itu. Vie cukup menganal Ardi dan cara-caranya men-comblangin orang lain. Persis seperti cara anak sma. Yang menggoda-goda dan berkirim-kirim salam. Sangat tidak... tidak... tidak... ok!

Dan... mendapat salam dari pak ustad ala Ardi pastilah diawali dengan cara dia yang entahlah.. pasti dia telah berhasil membuat kesan pada Pak Ustad kalo Vie sedang meng-gilai-nya setengah mati. Pak ustad yang dimaksud sebenarnya bukan seorang ustad berjenggot dan bersorban. Hanya seorang dosen muda seumuran dengan Vie yang sedang mengambil PhD di universitas yang sama. Hanya karena ilmu agama juga ok, dia sering diundang jadi pembicara di kegiatan-kegiatan agama dan jadilah panggilan pak ustad melekat ke dirinya.

Kembai ke urusan salam dari Pak ustad. Ternyata yang terjadi adalah... Ardi (seperti yang telah Vie duga) "mempromosikan" Vie (entah dengan cara apa, Vie pun tak ingin tahu, tak ingin menambah malu) pada Pak ustad dan keep teasing him sampe akhirnya sang ustad menyerah dan berkirim salam (balik..!). Sama sekali tidak OK!

Satu-satu nya hal yang paling di benci Vie saat berurusan dengan makhluk berbeda jenis kelamin dengan nya adalah saat mereka merasa dan tau bahwa seorang cewe tertarik dan kemudian akan menganggap mereka sebagai fans yang harus di "maintain". Dan herannya mereka bisa berubah drastis setelah mengtahui fakta ini. Berubah dari sikap sopan menjadi menyebalkan. 

Jadi sekarang... coretlah nama Pak ustad dari daftar cowok menarik. Karna dia akan berubah menjadi menyebalkan dan akan sangat self-aware jika nanti bertemu dengan Vie lagi. 

Vie membalas cepat semua tulisan Ardi di chat-room. Menyatakan dia tidak tertarik lagi dengan Pak Ustad, walau berkali-kali Ardi mengajukan pertanyaan yang sama tentang serius atau tidak nya dia tentang hal itu. Pasti, tidak diragukan lagi, Pak Ustad tak lagi menarik. Tak akan ada lagi chasing game, bukan dari pihak Vie nya. Itu bukan bagian yang menarik bagi dirinya. Tapi dari pihak nya Pak Ustad nya, apakah para pemburu mengetahui bahwa mangsa mereka juga menikmati saat-saat perburuan? Tak peduli hasilnya sang mangsa tertembak mati atau berhasil meloloskan diri, permainan itu sangat dinikmati. Dan sekarang bagi Vie semua telah berakhir bahkan sebelum sempat dimulai. Thanks to Ardi. Ayo kita mengintai pemburu lainnya.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : After this assignment...


#52-20, 5 October 2010 22.30 ADST


" So... we are going to Vietnam..!!"

" Yea...! for only 200 bucks..!"

" dan itu udah termasuk tiket KL-Padang...!"

" Yup... return..! haha... "

Vie dan Arms tak dapat berhenti tertawa selama percakapan itu. Mereka sedang di living room, dua laptop terkembang, cemilan dan gelas dimeja, lembaran jurnal dan text book berserakan dan mereka sibuk merencakan summer holiday di bulan January mendatang.

" We are crazy....! Berapa assignment lagi yang harus di kumpulkan..? Aku punya 3 yang due minggu depan... dan 2 lagi seminggu kemudian..."

Vie memberikan cengiran lebar ke Arms sebelum menjawab dengan bangga nya..

" Kuliah kita cuma tinggal 4 minggu lagi kan..? Satu due besok, 3 lagi di setiap minggu berikutnya dan 1 di minggu kedua ujian... Daaan.... aku ada 2 minggu kelas intensif mulai tanggal 11 Oktober... Mudah-mudahan subject itu ngga ada ujiannya... Jadi cuma 2 ujian semester ini..."

" Great..! Ke empat subject ku ada ujian nya... "

" Sekurangnya setelah itu kamu bebas, aku pasti masih punya beberapa assignment lagi dari subject intensif itu setelah exam, sama seperti semester lalu... "

" hmm... yeah.... "

Mata Arms menelusuri kertas dan buku yang berserakan disekitar mereka, dan Vie mengikuti pandangan mata nya sebelum mereka saling menatap dan nyengir lebar. Dan tanpa kata mereka kembali menekuni laptop masing-masing.

Cuaca cerah hari ini di Melbourne, seminggu terakhir ini winter telah benar-benar menghilang tanpa jejak. Jadi tak ada lagi menggigil didepan heater dan tidak perlu lagi menyalakan electric blanket di malam hari karena flat tua yang mereka tempati ini tidak memiliki pemanas sentral. Akhirnya tak perlu lagi memakai jaket setiap hari.

" Ayo kita jogging kapan-kapan di Princess Park.. Cuacanya bagus... " kurang dari 5 menit menekuni tugas nya Vie kembali membuka percakapan.

" Yeah... After I finish this assignment... "

" Yeah... same here..."

Dan hening kembali menyapa ditingkahi suara ketikan. Vie bisa membayangkan dengan cuaca seperti ini, pasti lapangan rumput di Uni telah dipenuhi para pelajar yang berjemur untuk memenuhi kebutuhan vitamin D mereka, tak ketinggalan sepetak rumput di depan state library yang tak pernah sepi dari jajaran tubuh manusia saat matahari tak menyembunyikan sinarnya. Dan mereka, dua manusia yang jauh dari tempat kelahiran masing-masing, negara kepulauan bermandikan sinar matahari, berkurung di dalam rumah berusaha mencerna dan menulis tugas kuliah, tapi diam-diam menyusun rencana liburan di kepala masing-masing.

" We have to find a boyfriend... " kali ini Arms yang bersuara

" Yeah.. after I finish this assignment.. "

" haha... "

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Mellow... Shallow... Yellow....


#52-20, 5 October 2010 22.12 ADST


Ini sudah seperti diary saja isinya. Dan Vie sangat mengenali isi diarynya. Tak pernah ada cerita bahagia. Vie sama sekali tak memiliki mood sedikitpun untuk menulis dikala bahagia. Lebih banyak dia habiskan untuk berbagi bersama teman-temannya. Dan saat sepi mendera, dia seperti tak punya teman untuk berbagi. Atau mungkin tak ingin berbagi derita? Hanya jemarinya yang lincah menari menoreskan cerita.

Sebaiknya tak usah dilanjutkan. Ini hanya fase bulanan yang sering menghampiri.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Being Single..


#52-19, 24 September 2010 18.30 AEST


Adakah orang yang bisa memahami kalau berkeluarga, atau menikah bukanlah tujuan utama hidup Vie..? Tentu saja dia bukan dalam konteks tidak mau untuk menikah. Hanya itu bukan tujuan utama, bukan pencapaian utama dalam hidup nya. Dia tidak akan mengerahkan segala daya upaya nya hanya untuk mengubah status menjadi "married", atau hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dan atau untuk berstatus sama dengan kebanyakan teman-teman nya. Yang terakhir tidak terlalu menuntut. Kebanyakan teman-teman nya disini single. Yang berkeluarga malah terlihat "repot. Dan dia sama sekali tidak "iri" dengan teman-teman nya yang telah berkeluarga. Dia malah melihat ada kerlingan "iri" dari teman-teman nya yang telah berkeluarga melihat kebebasannya. Seperti yang dia simpulkan, manusia tidak pernah puas dengan dirinya sendiri.

Dia tau bahwa dia tidak bisa membahas masalah ini dengan teman wanitanya yang telah berkeluarga. Mereka mungkin akan membentengi diri tentang kebanggaan nya sebagai ibu dan kebanggaan memuat bahagia suami nya. Tapi herannya dia bisa membahas masalah ini dengan para "suami". Mereka justru memahami keterbatasan seseorang yang telah berstatus sebagi istri, sekencang apapun para istri bersuara kalau mereka bebas berbuat seperti para wanita single, anak tetaplah inti utama dunia mereka. Atau untuk segelintir yang belum memiliki anak, kebahagiaan suami adalah tujuan utamanya. Bukan hal yang mengherankan para istri mau belajar memasak, belajar dandan, atau berbuat apapun yang biasanya tidak mau mereka lakukan saat masih berstatus single hanya atas dasar ingin membahagiakan suaminya. Dan Vie berpikir; usaha apa yang telah di perbuat suami untuk membahagiakan sang istri itu..? Bahkan untuk urusan ekonomipun, banyak istri harus bekerja. Mereka menyebutkan kesetaraan, kebahagiaan memiliki uang sendiri. Dan apakah para suami memiliki segelintir kebahagiaan saat harus membersihkan rumah, mencuci atau memasak jika mereka tidak membayar orang lain untuk melakukan itu..?

Vie tidak bisa menggambarkan apa yang berkecamuk dikepalanya tentang urusan berkeluarga. Dia sama sekali tidak memandang rendah atau menentang apapun yang dilakukan para istri untuk suaminya. Dia pun mungkin akan melakukan semua itu untuk suaminya nanti. Tapi disinilah masalah nya. Dia tidak mau melakukan itu semua, tidak mau menikah hanya karena terpaksa akan kondisi, hanya karena mengikuti atau manakuti omongan orang. Dia tidak mau "mengorbankan" hidup nya untuk seseorang yang tidak menghargainya. Untuk seseorang yang hanya menginginkan pendamping untuk mengurusi kebutuhan sehari-hari nya. Untuk seseorang yang menganggap memiliki istri sama artinya memiliki seseorang untuk mengurusi dan menghidangkan makanan.

Menyentuh 33 tahun usia nya di dunia ini, Vie menyadari, seorang pria yang memiliki ambisi dalam hidup nya, biasanya menikah dalam usia muda, sehingga ada seseorang yang mengurus hidup nya selama dia mengejar mimpinya. Kebalikan untuk wanita yang berambisi, biasanya menikah di usia lebih tua karena tak mau ribet mengurusi orang lain selama dia mengejar mimpinya. Kecuali jika mimpinya itu sendiri adalah memiliki keluarga, mengurus anak, dan membahagiakan suami.

Di hari ulang tahunnya yang ke-33 ini, Vie merayakannya dalam kesendirian. Mensyukuri keadaan diri nya, kondisi hidup nya, dan mimpi yang masih dia peluk. Bahagia dia tidak seperti sahabatnya yang sangat terobsesi untuk memiliki pacar dan bertujuan untuk menikah. Mensyukuri bahwa dia masih memiliki mimpi dan berani untuk mengejarnya. Mensyukuri dia masih bisa bersyukur. Mensyukuri bahwa dia masih bisa menjadi lebih baik. Dia melihat segala hal yang masih bisa dia ingat dalam perjalanan 33 tahun hidup nya, menyadari segala kelebihan dan kekurangannya, bersyukur dia bisa melihat kesalahannya, bersyukur dia telah berbuat banyak kesalahan, menyadarinya, memiliki kesempatan memperbaiki dan menjadi lebih baik. Dan yang paling dia syukuri adalah dia tidak pernah merasa dirinyalah yang paling benar, tidak pernah bisa melihat orang lain totally salah, dan selalu berusaha melihat dari dua sisi.

Berstatus single di usianya yang ke 33 tahun ini tidak membuatnya bersedih. Dia tau dia bisa memberi lebih banyak manfaat bagi orang-orang disekitarnya dengan status single nya ini dan dia tau Tuhan tau yang terbaik bagi dirinya dibanding orang-orang sok peduli yang mempertanyakan status singlenya.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : On the way to Dookie..


#52-18, 20 September 2010 10.47 AEST


Ini hari pertama mid semester break. Dan lupakan lah leyeh-leyeh di pagi hari dan bebas melakukan apapun yang disuka seharian ataupun merencanakan perjalanan mengisi liburan. Ini hari pertama mid semester break, untuk 2 minggu ke depan tanpa kelas. Tapi apa bedanya ada kelas ataupun tidak. Di hari biasapun Vie hanya perlu ke kampus dua hari seminggu untuk kelasnya. Kelas bukan porsi terbesar dalam kehidupannya di sini.

Ini hari pertama mid semester break untuk dua minggu ke depan. Matahari besinar cerah diluar sana, cahayanya langsung melewati jendela lebar bis dan menyilaukan pandangan nya ke layar laptop. Benar.. liburan, hari cerah, didepan laptop dan didalam bis. Bis yang melaju di jalanan mulus Victoria menuju nothern country, tepat nya ke Dookie. Bukan untuk berlibur, tapi untuk field trip 4 hari ke daerah yang jauh dari peradapan. Nyaris jam sebelas, dan dia telah nyaris dua jam duduk di kursi ini, nyaris 3 jam dari upayanya mengejar tram sambil membopong tas ransel besar. Nyaris 5 jam dari keterbangunannya di pagi hari karna ketakutan akan ketinggalan bis. Nyaris 10 jam dari keterlelapannya tadi malam setelah berjuang dan menang mengatasi kemalasan berkemas untuk berangkat.

Ketika semua memasukkan bagasinya ke bus, ransel besar tadi pagi yang membuatnya susah keluar dari tram yang berjubel manusia pagi, terlihat sangat kecil dibanding semua travel bag disana. Nampaknya Vie akan kekurangan banyak hal nanti disana. Di daerah yang tidak memiliki toko yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sudahlah.. Pasrah..

Semalam bukannya langsung mempersiapkan segala hal yang butuh dibawa untuk 4hari keterasingannya, Vie malah asik membaca PhD comic. Lucu. Memantapkan tekad nya untuk tidak akan mengambil PhD dimasa depan yang berarti dia tidak perlu untuk mengambil Project B tahun depan. Cukup dengan Project A yang hanya small project.

Diluar cerah sekali, matahari memberi cahaya penuh pada satu batang pohon tanpa dahan dan daun di tengah padang rumput. Diluar hanya terlihat perbukitan padang rumput. Tak ada hutan sama sekali. Mereka telah mengubahnya menjadi lahan merumput para ruminants. Dan sekarang mereka berkoar-koar melarang negara yang belum menebang habis hutannya, menuduh kenaikan CO2 terbesar diakibatkan oleh penebangan hutan di negara-negara berkembang. Tentu saja, karna di negara mereka tidak ada lagi hutan yang bisa ditebangi. Mereka telah menghabiskannya dari jaman dahulu, yang mengakibatkan level CO2 mejadi seperti sekarang.

Matahari bersinar cerah di luar dan Vie sama sekali tak memiliki ide menarik tentang apapun untuk di tulis. Hatinya tak sedang lara, malah sedikit ceria dan gembira. Tak ada yang bisa dibaginya. Dia terlalu pelit untuk berbagi cerita disaat gembira. Tunggulah lara datang dan jemarinya kan bagai terbang menari di atas keyboard untuk menepiskan duka.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Help Me...


#52-17, 25 July 2010 22.52 AEST


Tolonglah.. Vie meratap. Pikirannya kalut. Semua hal yang dipikirnya telah menjadi masa lalu sekarang kembali mewujud menghantui dan merusak harinya. Hari ini cuaca sangat bagus dan tidak terlalu dingin. Matahari bersinar cerah dan sama sekali tidak ada nuansa winter seandainya pohon-pohon bisu yang berjejer ditepi jalan itu tidak kering meranggas botak tanpa sehelaipun daun. Ini hari yang cerah. Berkebalikan dengan suasana hatinya.

Tempat kita hidup hanya background. Kehidupan itu tak ada bedanya. Baik di negri empat musim, dua musim atau pun tak bermusim. Di negara yang dikelompokkan maju dan tidak maju yang dibuai dalam harapan sedang berkembang, kehidupan itu sama. Negeri empat musim tak bisa mengobati hati Vie. Negeri empat musim tak bisa menggembirakan jiwa nya. Negeri empat musim tak menghindarkannya dari masalah kehidupan. Negeri empat musim hanya menambah beban pikirannya untuk bertahan melewati musim yang tak bersahabat.

Bahagia, sedih, gembira, marah itu hanya rasa di hati, di dalam diri. Tak peduli dimanapun tempatmu berada, di lobang tikus atau di istana raja, semua sama. Dan Vie hanya bisa menarikan lebih cepat jemari nya di keyboard. Berusaha menumpahkan semua sesal dan amarah nya dalam rangkaian kata tak tertata. Seseorang di seberang sana mengerti. Walo tulisannya kadang tak menceritakan jelas apa yang ingin dia bagi. Seseorang diseberang sana mencoba mengerti. Dan seorang lagi tak pernah bisa Vie mengerti, sebesar apapun usahanya mencoba untuk mengerti. Hingga jiwa nya berontak dan tak bisa lagi bertahan. Hingga logika berperang dengan perasaan dan mengkhianati tubuhnya yang penat.

Ingin Vie untuk menghentikan perseturuan hingga disini. Dengan mengikuti kemauan hati atau memilih logikanya. Tapi tak ada yang mau mengalah. Hatinya tak mau menerima saat logika mengulas ribuan fakta dan data, lengkap dengan rekaman jelas semua peristiwa. Hatinya hanya mampu mengiba merasa. Makin menggumulkan segala rasa; benci, kecewa, marah, sedih, duka, tak percaya dan nestapa. Logika menyatakan diri tak mampu untuk menanggung semua rasa itu. Berilah sedikit gembira. Sekurangnya untuk hari ini yang cukup cerah ini. Berilah sedikit bahagia, sekurangnya untuk lezatnya secangkir air pelepas dahaga tadi. Dan hatinya hanya berkerut bergumul dengan semua rasa kecuali gembira dan bahagia.

Dan Vie hanya bisa meratap. Berusaha mencari sasaran pelepasan nestapa nya. Mencari sang sumber pembuat derita dan menimpakan semua kesalahan padanya. Menghina, menjatuhkan, menuduh, menghakimi, dan mengumbar semua aib nya. Berharap dapat mengurangi deritanya semula, dan menambahkan rasa puas di hati. Tapi Vie tak memperolehnya. Tak ada puas, jangankan gembira dan bahagia. Hanya mengganti derita dengan nestapa dan disisipi pedih. Cukup lah sampai disini. Apa diam bisa membantu ku? Mengurung diri dalam sepi dan hanya diri sendiri.

Mungkin sebaiknya tidur saja. Menyambut gelap tanpa rasa dan logika. Dan Vie bergerak mematikan semua lampu kamarnya. Membelalak dalam gelap menyambut kesunyian semantara tanpa peperangan antara rasa dan logika.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Hati dan Pikiran


#52-16, 19 July 2010 19.40 AEST


Jika hati yang bicara
Tak tahu apa yang akan terucap
Semua bisa terungkap
Jika pikiran t'lah pergi meninggalkan raga
Semua bisa terjadi

Pikiran dan hati bersatu dalam jawab
Menutup, melindungi, mengamankan semua kejadian
Diam tak berbekas
Menepis asa yang terucap

Tak satu katapun bisa mewakilkan
Tak ada yang bisa terungkap dengan kata
Hanya hati dan pikiran yang tahu semuanya
Semua ada dalam hati dan pikiran


Cabikan kisah dari masa lalu itu sedikit menyentak di tengah kebosanan hari ini. Apa yang ada dalam hati dan pikiran ku saat menyapukan bait-bait kalimat itu dalam tinta hitam? Entah dimana.. mungkin dibalik lembar soal ujian. Karena dulu, di jaman SMA saat tulisan itu aku buat, aku punya banyak waktu untuk merenung di saat ulangan harian. Bukannya berusaha untuk menemukan jawaban yang benar diantara pilihan abjad a-b-c-d-e itu, aku malah sibuk menuliskan hal-hal di benak yang sama sekali tidak ada hubngannya dengan mata pelajaran yang sedang di ujikan.

Bagai hantu dari masa lalu. Apa yang ada di pikiran ku saat itu? Apa yang aku lakukan selama di sekolah yang mengiklankan diri sebagai sekolah terbaik di nusantara itu? Saat aku bertemu dengan gerombolan adik kelas yang sedang mengikuti "holiday program" di Melbourne.. Satu kalimat dariku yang membuat mereka terbengong dengan ekspresi yang sama saat aku bilang "paling suka melihat bintang yang bertaburan bagai pasir di langit malam saat RPS" adalah saat aku menyatakan "aku menyesal karena tidak rajin belajar selama di SMA"

Kebingungan pertama tentang RPS langsung di jelaskan oleh pamong pendamping mereka bahwa dahulu RPS dilakuka selama 3 hari, sementara sekarang RPS hanya dalam waktu satu hari, aku lupa jam berapa berangkatnya, yang berakhir jam 2 siang setelah makan siang. Dan rombongan siswa diikuti oleh rombongan keluarga seperti pelepasan jemaah haji. Hanya kali ini tidak dilepas, tapi diikuti oleh iringan konvoi mobil-mobil hingga titik akhir. Tak ada lagi lagi malam bertabur bintang, tak ada lagi minuman dicampur garam. Tergantikan oleh panas nya aspal disengat terik matahari dan minuman kaleng dingin serta buah-buah impor.

Kebingungan kedua karena dulu aku tidak rajin belajar dan sekarng berada di kota ini melanjutkan study dengan beasiswa. Menurut mereka mungkin ini ambigu, atau malah terkesan menyombongkan diri? Padahal tidak ada ambiguitas disana, tidak ada maksud menyombongkan diri seolah aku pintar hingga tak perlu rajin belajar. Jika aku tidak malas belajar dulu waktu di SMA, tidak akan berada disini aku saat ini. Atau mungkin juga masih tetap berada disini tapi dengan niat dan impian yang berbeda. Apapun itu tak ada yang aku sesali. Hanya merasa sesuatu pasti akan berbeda kalau dulu aku tidak malas belajar. Mungkin banyak hal yang akan berbeda jika aku bersungguh-sungguh belajar. Atau kembali lagi.. tidak ada yang berbeda.. entahlah.. tak ada yang tahu jawabannya.

Liburan semester masih akan berakhir seminggu lagi, tapi aku telah kembali ke rutinitas lama. Di depan komputer dan berusaha untuk belajar dan mengerjakan tugas. Tapi berakhir dengan membuka forum, facebook, youtube, dan chatting. Dan ketika kantuk menyerang di tengah malam, aku merefleksi kegiatan sepanjang hari dan menyesali diri. Sama seperti aku menyesali tidak rajin belajar di SMA.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Ku Bahagia


#52-14, 7 July 2010 13.04 AEST


"Mengapa banyak toko-toko baju bersebelahan dengan groceries shops?"

Dan Vie menemukan jawaban nya siang tadi. Sebenarnya siang tadi pula pertama kali otaknya mengajukan pertanyaan itu. Mengapa saat berniat berbelanja kebutuhan sehari-harinya, dia harus melewati banyak toko baju yang memajang tulisan "SALE" dan "DISCOUNT" ?

Tapi tak masalah, 3 potong baju tak akan mengeringkan dompet nya, pikir Vie. Tapi kemaren dia baru menghabiskan 5 hari di Sydney, walau hampir tidak sempat berbelanja karena sibuk mengunjungi exhibition dan icon-icon wisata disana. Sambil berjalan pulang dengan membawa kantong-kantong belanjaan nya, pikiran Vie berputar memikirkan menu untuk makan malam nya. Masih ada rendang yang dia bikin 3 hari yang lalu, tapi dia sudah bosan memakannya. Hasil dari kesalahan prediksi persiapan menjamu tamu. Para tamu nya hanya memakan kurang dari seperempat rendang yang dibuat Vie, mengakibatkan dirinya harus memakan rendang itu setiap hari.

Sendiri, berbelanja kebutuhan sehari-hari dan memikirkan menu harian. Tak ada yang berbeda dengan kehidupannya di kampung halaman dulu. Tak ada yang istimewa dari hidup di negri orang ini. Aktifitas yang sama, bahkan lebih menyenangkan di rumah karena tak perlu memikirkan cucian dan setrikaan. Tak perlu pusing mengerjakan tugas-tugas kuliah. Liburannya memang seru ketika bisa jalan-jalan ke tempat yang belum pernah di datangi. Tapi memang hanya disanalah, enaknya hanya untuk berlibur. Jadi datanglah kesini sebagai traveler, bukan untuk menetap. Dan itulah yang tak bisa Vie lakukan. Dia tak akan mampu. Jadi untuk bisa menikmati liburan di negeri kangguru pun, dia harus berjuang menjadi pelajar. Vie menyadari nya. Dia tidak punya mimpi untuk menjadi ilmuwan atau pengamat atau ahli. Tak ada ambisi. Dia hanya ingin bertualang.

Vie bukan nya sedang menyesali perjalanan hidupnya. Dia hanya ingin melihat dari sudut yang berbeda. Dengan segala kesan heboh yang terlihat oleh teman-temannya di Indonesia. Kemaren Heri, teman kuliahnya yang baru mengetahui Vie berada di Melbourne, menulis di wall fb Vie: "waaah.. dah lama di Melbourne ya? ngga ketemu nasi lagi donk?"

Dan Vie hanya bisa meringis. Menyadari fakta dia nyaris tidak pernah makan makanan lain selain masakan Indonesia. 

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Time Flies…


#52-13, 21 May 13.04 AEST


Vie memandang keluar jendela tram 19 yang tengah menapaki perlahan Royal Parade Street. Beberapa stop lagi menuju university nya. Pemandangan telah berubah dari toko-toko sepanjang Sydney road menjadi barisan rapi pepohonan yang daunnya telah berubah menjadi kuning dan berguguran. Autumn di Melbourne. Matahari bersinar terik dan orang-orang berjalan cepat dengan sedikit membungkuk ,memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket dan rambut berkibar di tiup angin bersuhu 14 C. Dua orang polisi berseragam terlihat mengayuh santai sepedanya sejajar sambil bercakap di lintasan Princes Park. Dan seperti yang dia harapkan, matanya menangkap bayangan yang di carinya di track taman itu. Pelari. Kali ini hanya seorang. Seorang yang barangkali sangat konsisten dengan jadwal larinya, atau seseorang yang memutuskan untuk jogging setelah melihat terik matahari dari dalam rumahnya tanpa menyadari bahwa udara sangat dingin. Tapi barangkali dia jadi tidak merasa dingin ketika berlari.

Berlalu.. 3 stop lagi menuju universitasnya. Pepohonan di kiri-kanan jalan yang terlihat berjajar rapi sangat menyentak pikiran. Dan sebungkah rasa entah apa menyelip di hatinya. Vie ingin mengabadikannya. Ingin mengajak adik nya yang hobi fotografi untuk mengabadikan barisan pohon berkepala kuning dengan tumpukan daun coklat kemerahan yang telah gugur di dasarnya. Dan barisan pohon itu. Ada sesuatu yang mengganggu tentang kerapian ini. Berbaris, kuning, menjajari jalan dengan lintasan tram di tengah. Sebenarnya apa yang membuat Vie begitu terobsesi dengan pohon yang berjajar rapi ini? Entah lah. Mungkin karena kerapiannya? Huh… mengapa aku masih memikirkan tentang pepohonan ini…

“We are so lucky, right…?”

Arms, yang duduk disebelahku bersuara mengaget kan. Aku dan Arms baru saja kembali dari melihat sebuah unit di daerah coburg, hanya beda 2 stop tram dari rumah ku sekarang. Kontrak akomodasi kami sama-sama akan berakhir di bulan Juni, dan kami memutuskan untuk sharing.

***

"For free...??" aku dan Arms serempak bertanya dengan nada tak percaya, sementara Ningsih dan Diana, mahasiswa Indonesia yang hampir menyelesaikan Master nya dan akan pulang kembali ke Indonesia for good bulan depan, menjelaskan dengan santai nyaris tanpa semangat..

"Ya... Karna kita juga dapat semua furniture ini dari mahasiswa Indo yang nempatin unit ini sebelum aku. Dia juga take over dari yang sebelum nya... Mahasiswa Indo juga.. hehe... Hmm.. kalo ngga salah dia take over semua barang dari sebelum nya $300, aku take over dari dia $150... dan buat kalian.. ya... free aja.. lagian kita ngga mau repot ngosongin unit ini buat balikin ke agent nya..."

"Wah.. makasih... kemaren kita udah pusing mikirin nyari and ngangkut kasur dan barang2 penting lainnya kalo pindahan... Yakin ini free mbak..?"

"Iya.. Bed sie udah pasti ada ya... nie, kulkas nya gede khan, itu tv, ada laundry machine, itu printer kalo mau... tapi ada beberapa barang yang bukan punya aku nie, bakal diambil lagi sama yang punya. Itu microvawe buat kalian, toaster, oya ada sepeda juga di bawah.."

"Sepeda juga...? Wow.."

"Iya, kita ngga mau repot"

Diana dan Ningsih saling menimpali memberi penjelasan tentang segala hal di unit 2 kamar yang memiliki living room dan dapur yang cukup lega ini.

Aku membayangkan pasti Tunga akan terkagum-kagum mendengar barang2 lengkap hasil lungsuran gratis itu. Karna dulu aku masih ingat bagaimana repotnya dia pertama kali pindah ke unit kosong melompong. Barang-barang kecil seperti sendok, garpu, gelas dan perkakas nya cukup merepotkan selain barang-barang-wajib-ada yang besar-besar. Memang kebanyakan mahasiswa tidak akan membeli baru, bisa diperoleh dari pinggir jalan atau garage sale atau membeli murah bahkan lungsuran dari teman-teman yang akan balik ke Indonesia, tapi tetap membutuhkan biaya (yang bahkan kadang lebih mahal dari harga beli) untuk biaya transpor nya. Dan sekarang aku dan Arms memperoleh semua yang dibutuhkan lengkap di dalam rumah itu FOR FREE..! Pastinya kami tidak melewatkan kesempatan ini walaupun lokasi unit ini cukup jauh dari University, tapi akses ke uni sangat gampang. Jadi tak masalah.

***
“Yaa… we are so lucky…” ucapku menyetujui. Dan kami kembali terdiam dalam pikiran masing-masing.

Tanpa terasa satu semester hampir berakhir. Tinggal seminggu lagi, dan kesibukannya telah jauh meningkat semenjak sebulan yang lalu. Belajar, belajar dan belajar. Saat ini Vie sedikit bernafas lega, tinggal satu assignment lagi yang harus dia selesaikan. Masih ada waktu seminggu lagi dan dia telah mengerjakan separuh. Vie merasa telah mulai terbiasa dengan ritme yang dijalani nya saat ini. Hanya 3 hari menghadiri kelas, masing-masing hanya 2 jam. Dan butuh berhari-hari belajar dan membaca untuk mengerjakan essay 3000 kata atau mempersiapkan presentasi. Vie tidak lagi kaget dengan feed back yang kadang melebihi harapannya atau malah jauh dibawah harapannya. Ketegangan telah mulai mencair. Dan waktu berlalu tanpa jejak.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Tentang Dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut


#52-11, 3 April 10.05 AEDT


"Jangan menangis..." pintanya sambil bergegas mendekat ketika bayang airmata memenuhi kedua kelopak mataku. Tangannya merengkuh kepalaku ke dadanya tepat saat tumpahan airmata itu tak dapat lagi kubendung. Aku ingin waktu berhenti sejenak saat ini, saat aku ingin mencurahkan semua perih ku padanya. Semua kalut dan takut ku, semua pinta dan harapku, semua nya... Tapi yang ada dalam pikiran ku saat itu malah kemeja nya yang basah karena air mataku, dan itu tak boleh terjadi, karena waktu yang kami miliki ini bukan milik kami seutuhnya. Kami hanya mencuri waktu untuk bisa bersama sesaat, dan setelah ini harus kembali ke kantor. Yang ada dikepalaku apakah orang-orang yang juga sedang menikmati lunch di cafe ini melihat adegan ini. Apakah ada orang yang mengenali kami. Ini kota kecil dan semua orang saling kenal, walau posisi meja kami disudut dan sedikit tersembunyi di cafe yang cukup sepi ini, tak ada jaminan bahwa kami "aman".

"I love you.." bisik nya sebelum tangan ku dengan tegas mendorong nya menjauh.

"Maaf membuat baju mu basah" ucapku berusaha sekuat tenaga agar terdengar tenang dan mengambil beberapa lembar tisu untuk mengeringkan sisa airmata dan -yang terpenting- membuang ingus yang menbuat ku susah bernafas. Aku tahu matanya masih lekat menatapku. Memperhatikan semua tindakan ku dan mencoba membaca reaksiku. Selalu begitu. Aku tahu dia mengerti perasaan ku. Dia pasti sadar bahwa saat ini aku ingin berteriak memakinya untuk berhenti menyatakan kalau dia mencintai ku, berhenti menghubungi aku, dan menikahlah dengan pacar sewindu nya.

Dia pasti tahu saat itu aku ingin terlihat tegar, tak ingin terlihat rapuh, tak ingin terlihat membutuhkannya walau satu-satu nya hal yang aku inginkan adalah dia, karna sampai saat ini aku belum bisa memiliki nya utuh. Aku bosan berbagi dan terutama karena aku yang memperoleh bagian kecilnya dan sebagian besar orang bahkan berpikir aku tak pantas untuk memperoleh bagian itu. Bisanya orang-orang berpikir seperti itu.. Mengapa mereka tidak berpikir bahwa yang tidak pantas itu adalah dia yang membagi cintanya padaku. Aku memberikan cintaku utuh. Dan dia menerimanya. Kemudian membalas dengan separuh cintanya padaku. Dan orang-orang menyalahkan ku?? Aku yang tidak beruntung dalam transaksi ini, aku yang dirugikan.. Bukan dia..!!

Dia adalah makhluk paling beruntung yang menerima dua cinta utuh. Satu tanpa pamrih, dan aku tak tahu dan tak mau tahu tentang yang satu nya. Tapi menurutku yang satu lagi memberi jaminan. Mungkin itu sebabnya dia tak mau melepaskan jaminan itu. Walau berulang kali menyatakan dia mencintai aku. Tapi ini pikiran aku seseorang yang cukup bodoh untuk mengetahui dan menerima menjadi orang kedua. Mungkin dia juga menyatakan hal yang sama pada pacar resmi nya. Bahwa dia tidak bisa hidup tanpa dirinya. Aku tak tahu. Dan tak mau tahu.

Itu terakhir kalinya aku bertemu dengan dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut-

Aku membaca tulisan di Forum Ikastara, tentang laki-laki yang mendua dan menurut si laki-laki, dia pun menderita. What a joke..! Bagaimana mungkin dia bisa menderita? Saat dia jauh dari istrinya, dia bisa bersama dengan wanita yang dengan jujur menyatakan mencintainya. Satu-satu nya saat yang membuat dia menderita (yang bisa kutangkap) hanyalah saat sang wanita memintanya memilih. Berarti selama dia tak harus memilih, dia akan menikmati keduanya.

Mungkin dalam kasus dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut- ini, yang membuatnya tersiksa adalah keharusan menyembunyikan keberadaan aku dari kekasihnya. Yang sayang nya berada dikota yang sama, sehingga lebih susah bagi kami untuk bisa bersama. Dan karena kami sekantor, alasan kegiatan kantor merupakan solusi bagi nya.

Dan sekarang... Aku jauh di negeri orang. Lihat, ini bukan hal yang umum untuk seorang wanita "pilihan kedua". Dikebanyakan kasus, dia adalah wanita yang lebih sering bersama si laki-laki karena se-kantor, atau se-kota, atau se-negara. Sekarang aku jauh, dan dia dekat dengan kekasihnya. Dia punya alasan untuk tidak pernah lagi menelepon aku, dan MENOLAK menerima telepon ku. Karena sekarang tidak ada lagi alasan pekerjaan kantor yang bisa membuatnya dengan gampang berdusta saat menerima telpon atau sms dariku di depan kekasihnya.

Aku kenal kekasihnya. Jangan tanya dia seperti apa. Aku lebih cantik dari nya. Tapi secara pasti lebih bodoh karena mau menjadi orang kedua. Humm... Tunggu, sepertinya tidak juga, kekasihnya yang sangat bodoh, tidak menyadari bahwa pacarnya memuja ku dibalik punggungnya.

Dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut-, aku tak mau menyebutnya karena menyebut namanya membuat hatiku begolak dan nadiku berdenyut menggila. Menyebut namanya mengumbar semua rasa yang terbendung dalam didada, rindu, marah, heran, curiga, sesal, cinta, sebal, dan sebutlah semua.

Beri aku waktu merasionalkan tindakanku selama empat tahun ini. Dia membuatku nyaman, membuatku tertawa, membuatku tenang, membuat ku pasti, dan membuatku patuh pada semua perkataannya. Apa itu bagus? Terdengarnya tidak, malah makin terdengar bodoh. Dia... dia membuatku pasti... akan semua tindakan dan keputusan yang aku ambil. Bukan berarti dia yang memutuskan segalanya untuk ku. Tapi dia orang yang bisa mengambil keputusan. Tidak semua laki-laki bisa membuat keputusan. Contohnya saja keputusan gampang akan makan dimana atau nonton apa bisa menjadi obrolan yang panjang dan menyebalkan. Dengan dia tidak. Saat aku dilanda kebingungan, tidak pernah ada jawaban "terserah kamu" atau "mau kamu seperti apa"..(jika aku tau pasti apa yang aku mau, tak akan ada kebingungan). Dia memberi jawaban pasti, dengan alasan. Alasan yang bisa aku bantah atau setujui dan bisa membuatku menjadi pasti dengan ingin dan mau ku.

Dia yang aku ingin.

Kamarku semakin terasa dingin seiring bertambah teriknya matahari di luar. Sungguh ironi. Hari kedua Easter Break, semua target untuk menyelesaikan tugas dan persiapan bahan untuk project berakhir dengan seharian dikamar, mencuci dan menstrika semua pakaian, menonton dua film dan bolak-balik mengecek status ym dan fb dia-yang-namanya-tak-mau-pergi-dari-kepalaku. Suara ketukan halus dipintu kamar ku membuyarkan kenangan tentang dia.

"Ya, masuk aja..."

"Nanti ke stop 33 yuk Vie..., ngopi yang panas-panas. Dingin banget nie ngga keluar rumah..."

"Ok.. jam berapa?"

"Abis ashar aja ya..?"

"Sip.."

Rani, housmate ku yang sedang mengambil Master of Public Health di Universitas yang sama dengan ku dan setiap hari selalu terlihat sedang belajar atau mengerjakan tugas-tugasnya, kembali lenyap setelah menutup pintu kamar dengan berisik.

Sendiri di negeri orang dan memiliki banyak waktu untuk berpikir (seharusnya untuk belajar.. bukan memikirkan dia), aku semakin memahami diriku, dirinya, walau tak pernah mengerti tindakannya. Pertanyaan "mengapa dia tidak memilihku" sudah kubuang jauh.. sejauh harapanku untuk memilikinya. Pertanyaan baru "mengapa aku belum juga melupakannya" menjadi tak berguna karena dengan pertanyaan itu semua kenangan positif dirinya muncul menguatkan alasan pilihan ku untuk selalu mengingat nya.

Puisi dan tulisan ku selalu mengalir karena kenangan akan dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut. Indah dan hancurnya hariku adalah karena sapa dan penolakan nya di segala jalan komunikasi. Tenang dan gundahnya hati ku hanya karena dia memberi kabar atau tidak. Dia yang menyebut namanya saja menggeliatkan segenap pembuluh darah ku, merontakan jantungku, memabukkan hatiku, dan membuatku merasa orang terbodoh di dunia, tak mau menghilang dari hidupku.

Dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut- perlahan mulai menjauh dari hariku. Jarak memang tak berarti dengan segala teknologi. Tapi jarak bisa membatasi jika kita ingin sendiri. Aku tak ingin sendiri. Tapi aku pasti dengan inginku; aku ingin dia bahagia...

I want you to know that it doesn't matter
Where we take this road someone's gotta go
And I want you to know you couldn't have loved me better
But I want you to move on so I'm already gone

You know that I love you so, I love you enough to let you go

~Kelly Clarkson; Already Gone

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Pengalihan


#52-10, 28 Mar 14.56 AEDT


Vie melotot tanpa bergerak ke layar laptop tuanya. Besok assignment 1 harus masuk, assignment yang setiap hari bertengger di kepalanya. Dari yang sama sekali tidak mengerti dengan beribu pertanyaan tak henti bernyanyi dikepalanya tentang mengapa begini, apa maksudnya yang itu, hingga sekarang semua telah menyatu melantunkan nada yang harmoni. Senangnya bisa memahami. Dan sekarang dia menghadapi masalah baru. Merumuskannya dalam rangkaian tulisan singkat yag dapat dimengerti orang lain. Satu jam dan 2 paragraf terukir dengan beribu cacat. Dan dia butuh pengalihan. Satu lagi assignment untuk minggu depan belum disentuhnya. Keputusan untuk hanya berkonsentrasi pada yang satu ini dan sama sekali tidak melirik tugas satunya tetap membisikkan kekhawatiran di benaknya yang telah lelah. Tapi tak ada pilihan lain, satu pun kemajuannya sangat mengerikan, lebih lambat dari laju tram yang terseok dipenuhi penumpang.

Keinginan kuat untuk mengalihkan tarian jemari di keyboard nya dari tugas ke catatan hari ini sangat menggoda. Dan seperti biasa dia menyerah. Menikmati dengan tenang saat jemarinya menari mengetikkan rangkaian kata tanpa perlu berpikir. Sepi. Tak ada emosi. Hanya ingin menulis tentang kisahnya kemaren dengan dua sahabat dari belahan bumi yang berbeda. Tentang rencana-rencana liburan bersama mereka di summer holiday. Saat banyak tugas menanti di depan mata, rencana tentang liburan yang masih sangat jauh setelahnya cukup membantu untuk sementara mengalihkan pikiran dan sedikit memotivasi.

Tunga kemaren mengundang makan siang di apartement nya. Kali ini selain Vie, Tunga juga mengajak Arms yang berasal dari Maldives, sebuah negara yang menurut wikipedia adalah yang terkecil di Asia. Vie menggunakan Google Maps untuk melihat negara kepulauan ini. Dan dengan skala 200km pun dia hanya menemukan titik nama negara itu di tengah laut selatan india. Arms sering kali dituduh sebagai orang Malaysia atau Indonesia, karena dia memang tidak ada bedanya dengan penampilan penduduk dari dua negara itu. Dari Malaysia terutama, karena kebanyakan mahasiswa Indonesia disini putih-putih dengan mata sipit, bukan mahasiswa Indonesia kere yang mengandalkan beasiswa tentunya yang aku maksud. Dan Arms bisa sedikit mengerti bahasa Malay (demikian dia bilang) karena menamatkan S1 nya di Brunei.

Vie datang ke apartement Tunga dengan membawa sekotak mie goreng instan yang disukai Arms dan Tunga sangat ingin tau tentang makanan ini.. haha... Sementara Arms datang dengan perlengkapan membuat custard fruit+cake terkenalnya. Dan Tunga yang suami dan anak 9 tahun nya telah datang kesini, mempersiapkan makanan khas Mongol nya. Yang tak beda dengan pastel tapi hanya diisi daging cincang tanpa sayuran.. (dia membuat 2 versi; dengan daging halal dan daging biasa). Jadi seperti itulah.. Vie sangat mensyukuri pilihannya untuk membawa sekotak mie goreng karena pastel hanya seperti cemilan baginya, bukan makan siang. Arms dengan piawai ala master membuat dessert andalannya dan dengan sukses menjadikan Vie asisten yang dengan patuh menuruti perintah sang master untuk mengaduk adonan custard yang makin lama makin menggeliat mengental diatas api tak kasat mata. Dan seperti para master masakan lainnya, tidak ada takaran yang digunakan. Tak ada sendok atau literan untuk mengukur. Hanya feeling sang master untuk menambahkan gula, susu, tepung custard dan air hingga sukup untuk sekaleng buah campuran.

Itu kemaren. Dan sekarang Vie kembali dengan rutinitas harian nya. Duduk di depan laptop, memikirkan tugas nya dan membuka facebook, forum ikastara, email dan hal tidak pening lainnya untuk memunda dan mengalihkan perhatian dari tugas yang seharusnya dia kerjakan. Desakan untuk kembali menekuni tugas nya menggema di kepala Vie, berukut aliran adrenalin ke seluruh tubuh karena waktu untuk mengumpulkannya telah semakin dekat. Dan jemarinya masih lincah menari menulis kisah hari ini. Masih banyak hal yang ingin dia tulis; tentang barang-barang disini, dari kelontong hingga branded yang semua made in China, tentang bagaimana dia mengecek baju-baju yang dibawanya dari Indonesia sekedar mencari tahu di buat di manakah baju-baju itu, tentang ramalan menggunakan tulang (entah apa) dirumah Tunga kemaren. Tentang anak laki-laki Tunga yang terlihat lebih menyukainya dibanding Arms. Tentang mereka yang berjalan cukup jauh ke sebuah lokasi "Direct Factory Outlet", tentang dirinya yang terpaksa menghabiskan cukup banyak uang hanya untuk beberapa lembar baju. Tentang mimpi dan harapannya, dan tentang semua hal yang bisa mengalihkan pikiran nya dari tugas ini.

Tapi di kenyataannya, Vie harus kembali menekuni tugasnya. Harus mengalihkan kesenangan dan kelincahan menulis kata-kata ke tugas yang akan dikumpul besok.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Crazy


#52-09, 20 Mar 13.23 AEDT


“So.., how was your.. uhm.. sex... relationship?” 

Aku sedang di unit kediaman sementara Tunga, di daerah Flemington, kurang lebih 4 km dari Mebourne University. Sedang duduk di membelakangi laptop nya dan memandang dia yang sedang berdiri di depan pintu kamar dengan celemek dan membawa sendok penggorengan. Mulut ku membuka tanpa suara dengan pandangan bingung menatapnya. Dan seperti biasa, menganggap English anehnya yang sangat kental dengan aksen Rusia (walaupun dia berasal dari Mongol, tapi pernah hidup 9 tahun di Rusia) itu tidak dapat di mengerti, Tungga mengulangi dan memperjelas pertanyaan nya.

“I mean… your sex.. with him… Is it good..??”

Tunga, ibu 2 anak yang sedang menanti jawaban ku ini, masih cantik di usia empat puluh. Itu usia menurut perkiraan ku, karena tidak mungkin aku menanyakan langsung pada dirinya. Tapi anak sulungnya telah berusia 18 tahun dan dia bertemu dengan suaminya saat berumur 22 tahun. Ya, aku bertanya pada usia berapa dia menikah dan dia menjawab dia bertemu suaminya pada umur 22 tahun. Cukup, tidak ada pertanyaan lanjutan. Suatu saat Tungga juga pernah menuduh aku jauh lebih muda dari dia dan mengatakan dia 10 atau malah 15 tahun lebih tua (setelah dengan santai nya dia menyakan usia ku berapa).

“Because… Vie... Ada temen ku yang masih tetap bertahan dengan pacarnya hanya karena sex... Tidak ada alasan lain…”

Karena aku masih juga melongo bego, Tungga kembali melanjutkan usahanya memperjelas pertanyaan. Sementara aku masih bingung bagaimana harus menjawab pada seorang atheis yang terheran-heran dengan “halal meat”, takjub dengan 5 kali prayer times dalam sehari, dan ikut mengambil buku “Muslim Student Guide” hanya karena tertarik. Akhirnya aku hanya berujar…

“You know Tunga… Di negara ku, kamu tidak bisa menanyakan pertanyaan seperti itu pada orang lain”

Dan, seperti yang sudah kuduga, “Why…?” dengan ekspresi tak mengerti terlontar keras.

Because.. Sex before married is not a common thing in my country”
“Whaaaat??” Kali ini dengan ekspresi tak percaya lengkap dengan mengangkat tangan nya yang masih memegang sendok penggorengan.

“Ini karena agama mu?”

“Hei.. banyak ajaran agama lain yang juga melarang nya, bukan cuma agama ku” tukasku defensif dan tak sengaja terdengar sangat kasar.

Aku tak mau menjelaskan lebih lanjut, bahwa itu bukan berarti tidak ada yang melakukannya. Bagaimana bisa menjelaskan pada.. Ooopss.. ya.. aku ada ide…

“Look.. ini hanya –bukan-pertanyaan-yang-wajar. Tidak semua orang bisa menerimanya, bahkan mungkin beberapa orang akan tersinggung, terutama yang masih berstatus belum-menikah. Sama seperti menanyakan umur pada orang yang mulai terlihat tua disini.. Tidak semua orang bisa menerima nya kan? Beberapa orang malah akan tersinggung”

“Yeah.. But.. kalau kamu jatuh cinta dengan seseorang.. merasa cocok dengan nya, dan lalu menikah.. tapi sebelumya tidak pernah berhubungan sex... Bagaimana kamu bisa TAU…. Bagaimana kalau TERNYATA….. BAGAIMANA..…??” dan ekspresi serta gerakan tangannya yang memegang sendok penggorengan semakin liar.. Bingung mencari kata yang tepat untuk melukiskannya.

“That’s CRAZY…!” simpulnya dengan pandangan tak percaya dan beranjak kembali ke dapur. Yang berarti mundur selangkah dari depan pintu kamarnya.

Yup. This is crazy… Maksud ku.. bagaimana mungkin perjalanan jauh ku menyeberang ke negeri tetangga dan meninggalkan tempat aman nyaman sentosa negriku tercinta Indonesia (oke, aku terlalu berlebihan) berakhir dengan di interogasi oleh ibu-ibu atheis yang terheran-heran dengan cara aku menjalani hidup. Berawal dari kelas preparation bagi AusAid Student, aku sekelas dengan Tunga, satu group dalam suatu tugas karena bidang kita sama, yang berarti satu fakultas juga. Dan karena terjadi DRAMA dalam kelompok tugas yang beranggotakan lima orang itu, akhirnya aku bersahabat sampai sekarang dengannya.

Dan disinilah aku sekarang. Di unit apartement satu kamar Tunga yang kecil. Biasanya tempat seperti ini hanya disebut unit. Terletak di Gedung dua lantai dengan 8 unit. Tiap unit hanya memiliki 2 ruangan. Living room yang menyatu dengan dapur, dan bedroom dengan kamar mandinya.

Bukan tanpa alasan tiba-tiba Tunga menanyakan pertanyaan itu. Dan bukan tanpa alasan juga aku hari ini berada di rumahnya. Alasannya adalah sosok “him” yang ditanyakan Tunga barusan padaku. Seorang yang (mencontek gaya Harry Potter) namanya-tak-mau-aku-sebut, telah membuat ku tak betah tanpa kegiatan sendiri di rumah. Seseorang yang namanya-tak-mau-aku-sebut itu juga sepertinya menjadi alasan lain kedekatan ku dengan manusia atheis ini. Seseorang namanya-tak-mau-aku-sebut yang sekarang jauh berada di kampung halaman ku ternyata masih juga mengganggu hidup ku yang sudah cukup memusingkan di negeri orang ini. Dan terimakasih kepada facebook, yahoo messenger, skype, email dan operator telepon yang membuat jarak sama sekali tak ada artinya. Dan terimakasih (bernada sinis) untuk dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut karena selalu betah bercokol di kepala ku.

Tunga kembali muncul di depan pintu

“Kamu harus melupakannya… Dia jauh.. Kamu pasti bisa… He is not in love with you… Sorry…”

Ok, terimakasih atas semua pendapatnya Madam. Tapi aku percaya dia (sekurangnya) pernah in love with me. Dan sepertinya aku masih berpegang pada bayangan yang telah berlalu itu. Empat tahun bukan waktu yang singkat dan bisa dihapus dengan empat bulan di negeri orang. Seperti aku bilang sebelum nya, jarak tidak berarti apapun. Sebelumnya, walaupun satu kota, toh aku pun jarang bertemu dengandia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut.
Ya, empat tahun sudah. Dan tidak, dia bukan suami orang. Karena itu selalu pertanyaan orang lain setiap kali mendengar sekilas ceritaku. Dia bukan, atau belum suami orang. Dan ya, dia punya kekasih yang dia akui dia cintai (dan pastinya mencintai dia, atau harusnya begitu), dan ya, aku masih tetap cinta dengan nya.. Ugh.. aku benci mendengar kata cinta, tapi maaf aku tidak bisa menemukan padanan kata lainnya. Sayang atau suka tidak menggambarkan dengan tepat perasaan ku. Ini cinta. Terdengar dangdut atau lebay pun (seperti pendapatku dulu tiap kali mendengar kata ini) harus aku akui ini memang cinta. Maaf untuk yang lebih percaya logika daripada cinta (dulu aku termasuk golongan ini). Mungkin anda tidak akan pernah mengerti kisah ku ini.

Aku mencoba mencerna sendiri kisah ku. Terdengar sangat tidak masuk akal. Jika orang lain yang menjalani kisah ini, dan menceritakannya padaku. Aku akan sangat kasihan padanya, lebih parah lagi aku mungkin akan megatakan dia super-duper-goblok. Dan ya, aku tau orang pasti memandang seperti itu padaku saat ini. Tunga salah satu bukti nyata pendapat ini. Orang yang rasional pasti akan memilih mematikan cintanya apabila orang yang dicintai telah bersama orang lain dan memilih untuk tetap bersama yang lain. Tapi aku tidak. Dengan pongahnya memilih untuk tetap mencintai hanya karena satu alasan: dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut menyatakan bahwa dia juga mencintai aku, tetapi tidak bisa meninggalkan kekasih nya (yang telah menjadi kekasih nya selama 8 tahun). Gila..!! Dan semua orang yang tau kisahku ini memberikan pendapat yang sama. Lupakan!

Aku salah. Tak ada pembelaan diri. Seharusnya aku membunuh cinta ini pada kesempatan pertama. Mengutip ucapan salah seorang sahabat ku; lupakan, matikan, walau pasti sakit, lebih baik sakit sebentar daripada berkelanjutan. Tapi aku memilih untuk tidak melupakan. Memilih untuk tidak terlalu sakit, walau menyadari akan membutuhkan waktu lama. Tapi empat tahun..?? Masokis!

Tapi aku tahu dibalik semua alasan tidak logis tentang cinta itu, aku memiliki suatu alasan rasional; masih berharap dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut memilih aku dibanding kekasih nya. Crazy..!

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : China Town


#52-08, 11 Mar 17.30 AEDT


Itu tram nya..!! Dengen gerakan terseok pelan seperti kelebihan beban, tram no 19 dari arah city menuju north coburg terlihat bergerak mendekat. Dan Vie kembali memencet ulang tombol lampu penyeberangan walau dia tahu tidak akan mempercepat bergantinya traffic light, hanya bahasa ketidaksabaran. Dua orang pelajar disebelahnya sedang berbicara cepat dalam bahasa yang tidak dia mengerti. Satu lirikan cepat, Vie langsung menyimpulkan; Cina. Tapi kemaren pun dia menyangka Kim, Tunga, Rimzi dan Bun dari Cina, padahal mereka dari Vietnam, Mongol, Bhutan dan Laos. Bahkan seringkali dia berpapasan dengan segerombolan pelajar yang terlihat sangat Cina, tapi berbincang dalam bahasa Indonesia.

Suara lampu penyeberangan yang telah hijau memusatkan kembali perhatian Vie pada usahanya mengejar tram 19. Cuaca lumayan bersahabat hari ini di Melbourne. Matahari cerah, tapi udara masih dingin. Tram nya penuh, seperti yang sudah dia duga. Biasanya penumpang akan jauh berkurang setengah jalan menuju kediamannya yang menjadi “kampung” nya pelajar Indonesia; kampung Brunswick. Suara dalam berbagai bahasa terdengar mendengung. Dan setengah tak percaya Vie menemukan kursi kosong. Menghadap kedepan dan tidak ada seorangpun yang duduk di dua space yang ada, walau diseberangnya segerombolan "bule" Ozi dengan pakaian kantoran asik ngobrol sambil berdiri. Aneh.

Ada sesuatu kah dikursinya? Tak banyak waktu untuk berpikir, gerakan tram yang menghentak maju, mendorong Vie mendekat ke kursi kosong di tengah keramaian itu. Sekilas pengamatan, tidak ada yang aneh dengan kursinya. Sudahlah.. barangkali orang-orang itu memang ingin ngobrol dengan teman-temannya, pikir Vie walau dia sendiri masih kurang mempercayai pendapat ini. Vie menghempaskan tubuh lelahnya di kursi dan bergeser mengambil posisi ke dekat jendela. Pelajar Cina (atau sepertinya Cina) yang ternyata juga naik tram ini pun tak berminat duduk di kursi kosong di sebelahnya. Pikiran Vie masih terpusat pada keanehan kursi yang telah dia tempati ini, dan sebelum dia sempat melayangkan pandangan ke dua orang yang duduk tepat didepan dan berhadapan dengannya, Vie menemukan jawaban. Dan terbukti ketika dia mengangkat kepala, menatap pasangan di depannya.

Ketika sepasang manusia mengumbar kemesraan di depan publik, ternyata bukan hanya hal yang berat bagi kita yang tidak biasa melihat hal seperti itu. Semua orang yang tidak terlibat dalam kegiatan pamer emosi itu pasti merasa risih. Hal yang mungkin dilakukan adalah ikut terlibat..(haha), menikmati.. (bisakah?), atau pergi menghindar. Dan ini bukan untuk pertama kalinya Vie melihat orang-orang memilih untuk menghindar. Akan lebih susah menghindari ekspos emosi ini di kereta, atau tram. Vie pernah melihat di kereta orang-orang tidak mau duduk di dekat sepasang anak muda yang sedang bermesraan, dan untungnya kereta itu sedang tidak ramai sehingga banyak pilihat tempat duduk yang bisa menghindari pemandangan itu. Dan sekarang? Vie tepat terjebak di dalam tram yang penuh sesak. Jawaban keanehan kursi kosong di tengah keramaian terungkap sudah. Tak ada pilihan lagi, lorong telah dipenuhi penumpang yang berdiri. Vie mengumpati dirinya yang hanya berfokus mencari keanehan pada kursi kosong, dan sama sekali tidak memperhatikan apa yang ada di depannya. Tapi tadi ketika Vie berjalan kearah kursi ini, dia tidak dapat melihat pasangan ini karena mereka membelakangi nya, dan sekarang mereka tepat berhadapan dengannya yang masih melongo menemukan jawaban dan terlambat untuk menghindar.

Baiklah.. mari kita gunakan opsi lain yang masih rasional; menikmati? Agak berat sepertinya di situasi seperti ini. Hmm... maksud ku... Sekali lagi sepertinya dua orang ini Cina. Yang perempuan masih muda, dan yang laki-laki mungkin akan aku anggap seperti ayah yang sedang mengantar anaknya yang ingin kuliah di negri orang, seandainya adegan yang mereka pertontonkan tidak melebihi hubungan ayah dan anak. Weks.. Percakapan dengan suara rendah dalam bahasa yang tidak aku mengerti (dan sekali lagi, sepertinya bahasa cina..hehe). Coret kemungkinan pemandangan ini bisa dinikmati, ini malah terlihat menjijik-an. Ayah dan anak?? C’mon.. Dia lebih pantas menjadi ayah mu..!

Tapi kemudian aku mencuri pandang lagi pada si perempuan, mencari gambaran apakah mungkin usia nya jauh melebihi penampilannya yang masih terlihat sangat muda. Aku mencari tanda2 kerutan di leher atau di sudut mata, atau garis wajah yang mungkin menunjukkan tanda-tanda kedewasaan kalu tak mau aku bilang ke-tua-an. Tapi negatif... dia masih sangat muda, mungkin seumuran dengan aku, kalau tidak jauh lebih muda. Kecuali jika dia memiliki resep tradisional yang sangat mujarab atau dokter kulit yang sangat ahli. Untuk kedua kemungkinan itu, seharusnya dia bisa menjadi pengusaha sukses dengan memasarkan ramuan ajaib nya atau banyak wanita lain yang telah mengantri di dokter kulit langganannya.

Mari kita lihat si “ayah”, mungkin kah karena terlalu banyak pikiran membuat penampilannya jauh terlihat lebih tua dari umur sebenarnya. Hmm...hm... tua..tua..tua.. Positif. Dari penampilan fisik sampai gaya pakaian dan pembawaan. Tua.Titik. Memang pantas menjadi ayah nya.

Nah... ternyata aku cukup menikmati duduk tepat di depan pasangan ini. Bukan dalam konteks menikmati adegan pamer emosi yang mereka pertontonkan. Dan satu pikiran lagi menyentak di kepala ku. Aku bisa memahami ketika melihat sepasang anak muda yang bermesraan di muka umum. Mungkin mereka tidak pernah merasa waktunya cukup untuk berdua, atau mereka masih sangat excited dengan hubungan mereka. Tapi untuk pasangan yang sudah lama.. Apa masih relevan alasan tersebut? Ah.. sudahlah... Nanti aku kembali membuat asumsi lain untuk pasangan ini, selain menuduh mereka ayah-anak.

Vie menghentikan penelaahan terhadap pasangan di depannya. Untuk sesaat dia menyadari kelelahan yang menggelayuti sekujur tubuh nya. Kuliah intensif dari jam 9 pagi sampai 5 sore ini sangat menguras tenaga dan pikiran.

Seharusnya aku tidak hanya tertawa ketika membaca edensor, sewaktu Andrea Hirata menggambarkan sekelompok pelajar yang selalu duduk di barisan paling depan dengan alat perekam mereka. Nilai IELTS diatas 7 tidak memberi jaminan sama sekali bahwa kita dapat mengerti. Lupakan rekaman suara jernih dan jelas dari soal listening. Disini para Ozi berbicara dengan logat yang aneh dan malas mengucapkan kalimat yang panjang.

“Hai... Haw wa yah?” (baca: “hi.. how are you?” –crazy!) adalah greeting yang setiap saat mereka gunakan. Lupakan good morning, good afternoon, dan kawanannya.

Untung nya dosen-dosen disini pun berasal dari berbagai penjuru dunia. Tapi entahlah.. aku tidak bisa memutuskan ini suatu keuntungan atau tidak. Mungkin sangat menguntungkan saat salah seorang dosen ku berasal dari Canada, karena dengan gampang aku bisa mengerti semua ucapannya (masih ucapan, bukan isi pelajarannya..haha..) walau gaya sinisnya terasa sangat berbeda dengan gaya kebanyakan Ozi yang sangat sopan. Tapi Profesor yang mengajar tadi (sekali lagi) dari Cina. Kali ini aku pasti tentang asal nya, karena dia mengakui nya. Dan juga mengakui aksennya yang sangat kental dan berbicara dengan sangat pelan. Tapi tetap membutuh kan lima detik tambahan untuk mengerti apa yang dia maksud, terutama saat dia melemparkan pertanyaan. Bahkan pertanyaan tidak penting seperti; “Siapa yang sudah pernah mempelajari subjek ini sebelumnya?” membutuhkan kesenyapan 5 detik (yang terasa sangat lama) sebelum beberapa tangan terangkat.

Dan James yang duduk diseberang kelas tanpa suara berucap “I don’t know what he’s talking about..” dengan ekspresi setengah geli dan putus asa. Tapi ketika kelas akan berakhir dan sekali lagi sang Professor meminta maaf akan aksen nya, dan bertanya apakah pelajarannya bisa dimengerti? Seisi kelas dengan sopannya mengangguk dan menunduk sambil menggumam “yes”. Seperti nya semua bertekad untuk mempelajari sendiri dari slide yang ada dan text book yang di rekomendasikan daripada mendengar ulang lagi dengan aksen bahasa yang sama.

Pasangan didepan aku berisik dan kasak-kusuk membuyarkan lamunan sesaat. Mereka mengamati tram stop, dan aku menyadari kepadatan tram telah berkurang. Ternyata tram telah memasuki Sydney Road yang di kiri kanan jalannya di padati dengan berbagai macam toko yang realatif lebih murah. Dari variety shop (atau toko Cina) sampai outlet Harley Davidson. Satu anggukan pasti, dan pasanagan itu berdiri untuk keluar di stop berikutnya. Para Ozi yang tadi berdiri, bergerak menempati kursi-kursi kosong di samping dan depanku. Tersenyum sambil melantunkan “Sorry” saat kaki jenjangnya tanpa sengaja menyenggol kaki ku..

“No worries” lantunan balasan keluar dari mulut ku, reflek dengan senyum. Bahasa basa-basi kesopanan wajib berikutnya. Sudah setengah jalan menuju kediaman SEMENTARA ku.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Temptations

#52-07, 7 Mar 2012, 23.58 AEDT

Kepalanya berat menahan kantuk. Beberapa jurnal artikel berserakan di depannya. Belum dibaca! Dan sekarang adrenalin mengalir deras, jantungnya berdetak lebih cepat, kantuknya hilang sekejap. Tak dapat ditahan lagi, tergesa di alihkan nya mouse membuka tab baru, harus dilakukan saat ini. 

Percakapan tentang perjalanan mengejar mimpi di negeri empat musim dengan sesama pemimpi yang sama-sama baru dalam menjalani mimpi telah menjadi pemicunya. Dia harus segera menulis sebelum kepala nya menjadi lebih berat dengan segala "andai" dan "kalau saja". 

"Fokus Vie!!"

Hardikan kecil itu membuatnya terkejut juga, dan disusul cengiran sinis. 

"Fokus!" perintahnya lebih tenang.

Oke mari lihat apa masalahnya. Ini mimpiku, ini anganku... Terima kasih untuk semua novel pemberi semangat para pemimpi untuk mengejar citanya ke luar negri. 

"Ini menyenangkan" ulang nya lagi seperti merapal mantra

Sangat menyenangkan.. Kota yang menarik, universitas yang dikenal luas. Cukup menyebutkan nama universitasnya orang (yang tau) akan langsung menghargai. Tak usah di jelaskan fakultas apa, tak perlu mereka tau kalau program ini baru berjalan kurang dari 5 tahun dan belum menemukan bentuknya. Tak usah bandingkan dengan fakultas-fakultas favorit nya. Tak usah pedulikan subject yang dipelajari. Cukup nama universitasnya dan berapa lama program yang ditawarkan.

"Stupid!" kali ini dengan dengusan yang diiringi cengiran sinis.

Vie menikmatinya. Bukan menikmati beberapa bulan yang telah dia lewati di Melbourne dengan keanehan cuacanya ini. Tapi menikmati saat-saat menunjukkan kesalahan yang dia perbuat ke dirinya sendiri. Terkadang ke orang lain. Seperti yang dilakukanya saat ini.

Note di Facebook cukup efektif dirasanya saat ini. Dan tangannya dengan lihai menari diatas keyboard.

Kalau mempunyai mimpi untuk bersekolah ke LN:
  1. Jangan memilih hanya karna nama besar universitas
  2. Jangan menganggap makin lama di negeri orang makin baik
  3. Percayalah... percayalah.. percaya.. pada sisi negatif dan kesusahan yang digambarkan di semua novel pengantar mimpi belajar ke luar negeri itu. Dan kalikan sepuluh penggambarannya. Jangan anggap semua nya itu hanya pemanis cerita. Itu nyata


Cukup. Nafasnya sudah kembali teratur sekarang. Kepalanya tidak berdenyut lagi. Kantuk telah kembali menghampiri. Publish. Selesai.

Tangannya dengan terlatih mematikan semua program yang sedang berjalan. Melirik malas pada jurnal-jurnal yang bergeletakan. Melihat jarum jam yang tak bosannya berputar. Melihat kembali jadwal kuliah nya besok yang di siang hari. Menyadari bahwa telapak tangan dan kaki nya telah dingin. Dan menyeret tubuh nya kebalik selimut.

Saat ini summer di Melbourne, 17 derajat, warning thunderstorm semalaman, kemaren hujan es, dan banjir di beberapa tempat. Indah nya...